REVIEW - THE FLASH
The Flash dijual sebagai kisah multiverse epik. Michael Keaton kembali mengenakan jubah Batman, belum lagi beberapa cameo, baik yang sudah diungkap sebelum perilisan maupun yang masih tersimpan rapat. Tapi rupanya kelebihan film garapan Andy Muschietti ini terletak di kutub yang berlawanan. Sebuah perihal luar biasa mendasar yang dilupakan oleh banyak film superhero. Tugas utama para superhero bukan bertarung, melainkan "menyelamatkan".
Sejak sekuen pembukanya, The Flash telah menitikberatkan hal tersebut. Ketika Batman (Ben Affleck) menumpas penjahat, The Flash/Barry Allen (Ezra Miller) bertugas menolong orang-orang dari gedung runtuh. Pola itu kemudian selalu digunakan oleh naskah buatan Christina Hodson untuk mengantarkan Barry melewati proses terberat dalam hidupnya, yakni belajar merelakan.
Berharap bisa menyelamatkan sang ibu, Nora (Maribel Verdú), yang tewas terbunuh, Barry kembali ke masa lalu. Naskahnya menyediakan metode perjalanan waktu yang cukup kreatif sebagai pengganti cosmic treadmill (benda itu bakal terlalu absurd di mata penonton kasual). Di sana ia bertemu dengan versi lain dirinya, versi lain Bruce Wayne yang lebih tua, juga versi lain Zod (Michael Shannon) yang masih berniat menghancurkan bumi.
Luka hati Barry berasal dari kegagalannya menyelamatkan beberapa orang di masa lalu, membuatnya berjanji untuk terus berusaha mengulurkan bantuan, baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Bahkan salah satu misi protagonisnya pun berbentuk misi penyelamatkan, guna membebaskan Kara Zor-El alias Supergirl (Sasha Calle) dari kurungan pihak militer.
The Flash mengingatkan esensi menjadi superhero. Bukan tentang seberapa kuat, atau jumlah musuh yang ditaklukkan, tapi niat mulia untuk menyelamatkan (Ingat, Superman saja mau meluangkan waktu menurunkan kucing dari atas pohon). Beberapa akan berhasil, namun ada pula yang gagal. Tidak masalah, selama sang pahlawan tidak kehilangan arahnya.
Ezra Miller, yang mampu menarik garis pembeda antara Barry versi dewasa dan remaja lewat aktingnya, turut mewakili esensi di atas. Menjauh dari maskulinitas membosankan ala superhero pria, Miller mengutamakan hati dalam penampilannya. Begitu pula Keaton. Bruce Wayne versinya telah menua, penuh luka baik fisik atau psikis, tapi menolak terjerumus ke lubang kegelapan.
Masalah The Flash justru terkait caranya menghantarkan kisah berskala besar. Elemen multiverse benar-benar dimanfaatkan sebagai pondasi dramatik, tapi kisahnya minim sense of urgency. Di tengah detik-detik menuju invasi Zod, The Flash bergerak terlalu santai, gagal membangun kesan bahwa para jagoannya dikejar waktu, dan kegagalan mereka bakal berujung kehancuran dunia.
Gelaran aksinya pun inkonsisten. Di beberapa titik, kepekaan visual Muschietti, didukung oleh sinematografi garapan Henry Braham, sanggup melahirkan aksi bernuansa masif. Sedangkan Sasha Calle membuat absennya Superman tak terasa berkat ketangguhannya (James Gunn wajib membawanya ke era DCU).
Tapi di sisi lain, kualitas CGI acap kali mengganggu, dari karakter yang nampak aneh bahkan tak jarang creepy (tanpa menghitung figur-figur di dimensi pengganti cosmic treadmill yang saya asumsikan sengaja dibuat cartoonish), hingga berbagai ledakan kasar yang melucuti kemegahan aksi.
Bagaimana The Flash memanfaatkan elemen multiverse sebagai surat cinta untuk seluruh dunia DC pun, walau memancing senyum terutama bagi para penggemar, menyisakan kesan "malu-malu". Ibarat seseorang yang ragu menyantap setumpuk hidangan lezat, padahal hidangan itu telah disajikan di hadapannya. Tapi sekali lagi, ketika banyak film mulai melupakan nilai dasar yang mendefinisikan "superhero" atas nama modernisasi atau ambisi tampil edgy, jalan yang The Flash tempuh sudah sepatutnya diapresiasi.
Waah review yang bagus dan menarik Kak Anwar. Jadi penasaran buat nonton film the flash :)
BalasHapusKok aku jadi dibuat penasaran yah..aslinya gak suka nonton film kaya gini. Tapi ini malah jadi penasaran
BalasHapus