REVIEW - PUSS IN BOOTS: THE LAST WISH
Saya datang menonton Puss in Boots: The Last Wish tanpa banyak berharap lebih pada film kartun satu ini. Karena sebuah sekuel yang rilis 11 tahun setelah film pertama yang menghibur namun tidak spesial, pada masa di mana magis seri Shrek mulai dilupakan akibat dua installment terakhir yang mengecewakan. Tidak ada alasan jika saya untuk tidak memasang ekspektasi tinggi kepada film kartun besutan Joel Crawford ini.
Pada awal sekuen pembukanya menampilkan pertarungan Puss in Boots (Antonio Banderas) melawan raksasa batu, dan di situ saya yakin ini bukan sebatas "cash grab". Visualnya dikemas ala ilustrasi buku cerita bergambar, yang senada dengan bangunan dunia negeri dongeng milik franchise-nya. Memang ada kesan yang dinamis saat karakternya bergerak, berpindah tempat, pilihan warnanya mencolok, desainnya imajinatif. Ketimbang Shrek, "wajah" film ini lebih dekat ke Spider-Man: Into the Spider-Verse.
Puss in Boots: The Last Wish disutradarai oleh Joel Crawford, tapi posisi itu sempat diberikan pada Bob Persichetti, salah satu sutradara Spider-Verse, yang juga pernah terlibat di penggarapan Shrek 2 dan Puss in Boots. Artinya, sejak awal Dream Works memang ingin melahirkan pencapaian artistik lewat The Last Wish. Bukan mustahil pencapaian ini menggaransi pembuatan film kelima Shrek.
Visual cantik memang keunggulan utama The Last Wish, tapi naskah buatan Paul Fisher dan Tommy Swerdlow ini memastikan bahwa kecantikan itu juga terkandung dalam ceritanya, yang tampil lebih kelam. Kali ini Puss In Boots terlibat dalam petualangan mencari bintang pengabul harapan bersama Perrito (Harvey Guillén), anjing yang berdandan bak kucing, dan Kitty Softpaws (Selma Hayek), mantan kekasihnya.
Melanjutkan tradisi franchise-nya, The Last Wish dipenuhi dengan beberapa scane parodi dalam cerita dongeng, baik tradisional maupun modern (baca: film Disney). Goldilocks (Florence Pugh) beserta keluarga beruangnya dari dongeng Goldilocks and the Three Bears, juga Big Jack Horner (John Mulaney) dari lagu anak Little Jack Horner menghadirkan rintangan bagi Puss in Boots dan kawan-kawan.
Apa permintaan Puss bila menemukan bintang tersebut? Sederhana saja. Dia ingin hidup. Stok sembilan nyawa miliknya tinggal tersisa satu, dan karenanya ia merasa tak lagi mampu bertualang sebagai Puss in Boots yang gemar menantang maut. Puss yang dulu menertawakan kematian kini dibuat takut olehnya. Karena sewaktu bertemu serigala misterius bermata merah (Wargner Moura) yang datang untuk mencabut nyawanya, bulu Puss berdiri, ia ketakutan, lalu akhirnya Puss kabur.
Siapa sangka The Last Wish bakal membicarakan mortalitas? Sang jagoan ada di titik paling rapuh, yang malah memperkuat penokohannya. Seperti kebanyakan dari kita, ia takut pada kematian.
Klimaksnya membuktikan kapasitas Joel Crawford menangani hiburan dalam medium animasi. Sekali lagi visualnya indah, gelaran aksinya seru, tapi yang terpenting, tersimpan bobot emosi di situ, tatkala timbul kesadaran di batin karakter-karakternya. Goldilocks sadar ia telah mempunyai keluarga yang sempurna, sementara Puss menyadari arti hidupnya sekarang. Bahwa hidup itu hanya sementara jadi karena itulah hidup berharga dan mesti diperjuangkan sebaik-baiknya.
Komentar
Posting Komentar