THE SUPER MARIO BROS. MOVIE

 

The Super Mario Bros. Movie bakal jadi mangsa empuk untuk diolok-olok. Alih-alih cerita solid, alurnya diisi kompilasi fan service yang bertujuan membangkitkan nostalgia. "Film lebih dari sekadar media hiburan tanpa bobot", mungkin begitu ujar para penentangnya. Tapi film sendiri bukan cuma karya seni berkelas yang mengalienasi orang awam atau anak-anak. Keduanya sama-sama harus eksis demi terciptanya keseimbangan ekosistem. Di situlah The Super Mario Bros. Movie berperan. 

Ceritanya sudah kita hafal bersama. Bowser (Jack Black) berambisi menaklukkan seluruh kerajaan. Semua tidak berdaya di hadapannya. Berkat isian suara Black, Bowser nampak intimidatif, tapi masih tetap punya sisi komedik supaya tak terlalu mengerikan bagi penonton anak. Sudah pasti di sini Black turut memamerkan kemampuannya bernyanyi.

Target Bowser berikutnya adalah Kerajaan Jamur. Bukan sebatas untuk dihancurkan, karena si Raja Koopa berambisi menjadikan ratu kerajaan tersebut, Peach (Anya Taylor-Joy), sebagai istrinya. Tapi Peach bukan lagi damsel in distress yang pasif dan cuma menunggu diselamatkan. Dia adalah pemimpin sekaligus petarung tangguh. Secara cerdik, naskah buatan Matthew Fogel memodifikasi (bukan mengganti) formula cerita gim Super Mario. Simak third act-nya sebagai contoh terbaik. 

Jika Peach tak perlu diselamatkan, bagaimana dengan tukang pipa jagoan kita? Mario (Chris Pratt) punya hal lain untuk diselamatkan, yaitu dirinya sendiri. Dia selalu diremehkan, bahkan oleh keluarganya. Hanya sang adik, Luigi (Charlie Day), yang setia memberi dukungan. Sampai sebuah kecelakaan membuat Luigi jatuh ke tangan Bowser, dan Mario pun terseret ke tengah konflik antar kerajaan di sebuah dunia asing.

Memang betul bahwa cerita The Super Mario Bos. Movie amat tipis. Mario berlatih di bawah bimbingan Peach, meminta bantuan Kerajaan Kong, sebelum terlibat konfrontasi final melawan Bowser. Tipisnya cerita membuatnya kurang bisa mengikat atensi, terutama di paruh awal. Pun walau tersimpan setumpuk potensi, naskahnya luput mengeksplorasi mitologi dunianya.  

Filmnya sadar betul kalau ia tidak dibarengi cerita kokoh. Durasi yang hanya 92 menit tak memberi ruang bagi rasa bosan untuk mengakar terlalu lama. Kelemahan penceritaan dibayar lunas oleh kejeliannya menyatukan elemen-elemen dari berbagai judul seri Super Mario. Hal-hal kecil seperti pemakaian musik-musik ikonik yang mengembalikan kenangan masa kecil, maupun humor referensial ("Our princess is in another castle" jadi favorit saya) jelas banyak bertebaran.

Tapi pencapaian terbaik filmnya adalah keberhasilan melempar fan service bagi pemain gimnya dari tiap generasi, khususnya dalam bentuk desain set piece aksi. Mana pun judul yang kalian mainkan, entah seri utama Super Mario Bros. segala era, Mario Kart, Luigi's Mansion, atau bahkan Donkey Kong, bakal diwakili. 

Dihiasi visual yang tak cuma kaya warna tapi juga bisa nampak megah kala dibutuhkan seperti di sekuen pembukanya yang epik, duo sutradara Aaron Horvath (Teen Titans Go! To the Movies) dan Michael Jelenic mampu membuat filmnya bertenaga. Menonton The Super Mario Bros. Movie terasa seperti mengikuti upaya memecahkan rekor speedrunning yang berlangsung cepat dan seru. Caranya menyelipkan beberapa lagu populer mungkin kurang mulus, namun siapa bisa menolak pesona Take On Me (entah kenapa selalu memunculkan rasa haru di film apa pun) dan Battle Without Honor or Humanity?

Kebut-kebutan khas Mario Kart disulap jadi semacam versi kartun ringan dari Mad Max: Fury Road, di mana padang gurun digantikan lintasan pelangi, sedangkan kombinasi antara Mario dengan Donkey Kong (Seth Rogen) bakal memancing senyum lebar para penggemar. Terpenting, aksinya tidak melupakan hati, sebagaimana diperlihatkan di pertarungan penutupnya. The Super Mario Bros. Movie adalah hiburan menyenangkan yang hanya bakal dibenci para pembenci kesenangan. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sedikit Sedekah Tidak Membuat Susah

You have the power in your hand when you have it in your mind

Perjalan Sang Penulis Blog Nengvina