Sedikit Sedekah Tidak Membuat Susah
SEGALA sesuatu ada sedekahnya. Kenapa? Karena kita tidak memiliki segalanya seratus persen. Selalu ada hak orang lain di dalamnya. Katakanlah, mungkin 2,5 persen. Saya juga nggak tahu angka persisnya.
Segala sesuatu ada sedekahnya. Sedekah harta, tentu kita sudah tahu semua. Sedekah bagi perut (haknya perut) adalah dipuasakan. Sedekah bagi pikiran, haknya pikiran, adalah dibawa hening dan merenung. Sedekah rumah adalah ruang tamunya: untuk menerima tamu. Sedekah bagi wajah adalah senyum dan bermuka ramah. Sedekah bagi tulang belulang kita adalah shalat dhuha. Sedekah bagi ruangan adalah pernah digunakan shalat atau membaca quran di dalamnya.
Kalau kita tidak pernah memberikan hak perut, misalnya, suatu saat tentu ia akan bermasalah. Bukan karena ia marah. Tapi, simply, karena membuatnya bekerja tanpa henti itu bertentangan dengan naturnya. Jadi wajar kalau ‘rusak’. Itu satu contoh saja.
Sedekah kendaraan? Memberi tumpangan. Sedekah tenaga adalah membantu orang. Sedekah waktu, sedekah kesehatan, sedekah kemampuan, sedekah keahlian. Jika kita seorang dokter, misalnya, harus ada saat di mana kita berperan sebagai dokter tanpa dibayar. Mungkin untuk orang kecil, sebulan sekali? Teknisnya, terserah masing-masing.
Untuk apa sedekah? Bukan sekedar untuk, misalnya, membantu orang miskin. Itu cuma kewajiban sosial. Atau sekedar ‘merasakan penderitaan orang yang tidak mampu’. Bukan.
Sedekah adalah untuk menghubungkan kita dengan Allah ta’ala. Tapi yang menghubungkan kita dengan dia dalam hal ini bukan ‘cuma’ pahala. Ada yang lebih utama dari itu.
Jadi apa?
Jadikan sedekah kita sebagai ‘mas kawin’ akad kita pada Allah ta’ala. Sebuah transaksi. Berdaganglah dengan Allah ta’ala, jika mau disebut begitu. Atau apapun lah namanya. Intinya, ketika sedekah–uang, waktu, tenaga, pikiran, kemampuan–akadkan, “Ya Allah, aku suka menolong orang ini, karena aku pun akan sangat suka jika Engkau tolong. Tolonglah aku dalam dalam hari-hari sulit kelak, di dunia maupun di akhirat.” Atau, “Ya Allah, mudahkan aku dalam hari-hari sulit, sebagaimana aku memudahkan orang ini menghadapi kesulitannya.” Semacam itu. Itu contoh bagaimana agar sedekah kita terhubung dengan Allah ta’ala.
Nah. Dengan begitu, sedekah kita itu menjadi “sebuah doa dalam bentuk perbuatan”. Du’a bil hal. Ada harapan kepada Allah yang dibawa oleh tindakan itu. Itu jadi sebuah tanda butuhnya kita pada Dia. Ada sebuah ingatan kita pada Allah, sebuah zikir, yang kita pakukan pada Sang Waktu, melalui tindakan itu. Makin berat upaya yang kita keluarkan, artinya semakin dalam kita memakunya.
Setelah itu, lupakan. Forget it and just go. Go on and live the life. Biarkan Allah yang mengingatnya.
Jadi, berbuat baik atau menolong pada orang lain bukan dengan pengharapan agar kelak dia menolong kita balik pada saat sulit. Atau ada sebersit harapan kecil untuk membina hubungan baik, agar bisnis dengan bapaknya lancar. Itu pamrih namanya. Salah besar. Apalagi sedekah sekedar untuk mengusir orang agar cepat pergi.
Dengan demikian, karena bukan itu tujuannya, maka kita pun tidak boleh sakit hati jika orang yang pernah kita tolong ternyata tidak menolong balik ketika kita dalam kesulitan. Itu tanda bahwa kita belum murni pengharapan pada Allah-nya. Belum ikhlas.
Tapi seandainya pun kita masih begitu, ya tidak apa. Artinya kita masih harus memohon pada Allah agar Dia memperbaiki diri kita–dan ‘kegagalan ikhlas’ ini pun menjadi ilmu buat kita tentang kondisi hati kita hari ini. Ini sebuah hikmah yang lain dari sedekah.
Kepada siapa bersedekah? Kepada siapa saja, yang benar-benar butuh. Cari. Apapun agamanya. Dia sholat atau tidak, atheis atau alim, bukan masalah dalam hal ini. Just help. Apa kita mau Allah pilih-pilih terhadap kita–hanya menolong kita hanya ketika kita sedang alim dan rajin baca Qur’an? Kita tentu ingin ditolong-Nya dalam segala keadaan dan segala kelemahan kita. Dalam ingat maupun dalam keadaan berdosa.
Komentar
Posting Komentar