REVIEW - WONKA
Lupakan trailernya yang cenderung generik. Wonka adalah sebuah persembahan sinematik penuh pernak-pernik unik, ketika Paul King, yang menyutradarai sekaligus menulis naskahnya bersama Simon Farnaby, membawa kita memasuki dunia ajaib yang tiap sudutnya mampu memunculkan decak kagum yang tidak pernah bisa tebak awalnya.
Beberapa orang bakal mengkritisi minimnya sisi kelam yang identik dengan novel karya Roald Dahl, maupun dua adaptasi layar lebar sebelumnya, Willy Wonka & the Chocolate Factory (1971) dan Charlie and the Chocolate Factory (2005). Tapi selaku prekuel yang menyoroti masa muda penuh impian seorang Willy Wonka (Timothée Chalamet), perbedaan tone tersebut sejatinya masuk akal. Lagipula, untuk apa merindukan kegelapan di dunia yang lebih membutuhkan kebahagiaan seperti sekarang?
Didasari kenangan masa kecil kala menyantap cokelat lezat buatan sang ibu (Sally Hakwins), Wonka pun bercita-cita membuka toko cokelat yang sangat besar di Galeries Gourmet yang tersohor. Prosesnya tak mudah, terutama akibat tentangan dari sang pesaing, Arthur Slugworth (Paterson Joseph), yang menyuap si kepala polisi (Keegan-Michael Key) untuk menghancurkan usaha Wonka.
Wajar jika para pesaing ketar-ketir, sebab Wonka bukan pembuat cokelat biasa. Ada cokelat yang dapat membuat orang melayang setelah memakannya, ada pula cokelat dengan beragam bahan dasar aneh, dari susu jerapah hingga sambaran petir. Desainnya pun beraneka rupa, yang seluruhnya Wonka ciptakan di pabrik portabel yang tersimpan dalam kopernya.
Visi Paul King, didukung desain produksi sarat kreativitas, berhasil menebar kesan magis dalam film kepada tiap sisi yang penonton kunjungi. Tentu saja, mengingat Wonka lahir dari kepala manusia British, balutan humornya pun memiliki keeksentrikan serupa.
Filmnya tak menyisakan ruang bagi kenormalan. Karena dalam setiap menit menyediakan lahan eksplorasi yang playful, bahkan di saat karakternya mesti hidup dalam penderitaan. Di satu titik, Wonka terjebak kedalam tipu daya Mrs. Scrubbit (Olivia Colman) dan Bleacher (Tom Davis), yang membuatnya terkurung bersama orang-orang bernasib serupa. Dan salah satunya seorang bocah bernama Noodle (Calah Lane) yang tidak mengetahui identitas orang tuanya.
Mereka tidak berdaya, menderita, dan hanya memiliki aktivitas bernyanyi bersama yang saling menjaga harapan agar tetap tersisa. Didukung barisan lagu catchy, termasuk versi baru dari Pure Imagination, Paul King menjadikan musikal sebagai cara karakternya mengekspresikan sedikit harapan mereka. Pengadeganannya imajinatif, layaknya mimpi indah yang kemunculannya mendatangkan kebahagiaan yang menyentuh hati.
Timothée Chalamet piawai mengolah gestur saat melakoni musikal, walau ada kalanya, untuk sebuah presentasi bigger-than-life macam Wonka, cara sang aktor berekspresi masih terlalu berkutat pada gaya realis yang memang jadi ciri khasnya. Sedangkan dua nama senior, Olivia Colman dan Sally Hawkins tampil tanpa cela sebagai dua figur yang berlawanan. Colman menjadi sosok keji yang gampang dibenci, sebaliknya, Hawkins dalam kemunculan singkatnya mampu meniupkan kehangatan.
Jika perlu gambaran yang agak menggambarkan (namun tidak berlebihan), Wonka ibarat peleburan antara Paddington dengan La La Land. Sebuah kejutan menyenangkan yang lebih manis dari sekotak cokelat. Rasa manis itu bernama "kebersamaan".
Komentar
Posting Komentar