REVIEW - SIKSA KUBUR
"Anda akan percaya". Begitulah kalimat yang dipakai untuk memasarkan karya terbaru Joko Anwar ini, yang merujuk pada diskusi soal eksistensi siksa kubur. Beberapa meyakini keberadaannya, tidak sedikit pula yang sanksi. Apakah benar filmnya sekuat itu sampai bisa menggiring penonton memercayai paham tertentu?
Pastinya protagonis kita tidak percaya. Sita (Faradina Mufti) namanya. Seorang perawat panti jompo. Kakak Sita, Adil (Reza Rahadian), bekerja sebagai pemandi jenazah. Semasa kecil (versi muda masing-masing karakter diperankan oleh Widuri Puteri dan Muzakki Ramdhan dengan kualitas yang tak kalah dibanding senior-senior mereka) keduanya menyaksikan kematian tragis orang tua mereka (Fachri Albar dan Happy Salma) yang jadi korban bom bunuh diri atas nama agama.
Si pelaku terdorong melakukan aksinya karena sebuah rekaman yang konon berisi teriakan orang-orang yang mendapat siksa di alam kubur. Saya pun teringat pada rekaman serupa yang ramai beredar sekitar 15-20 tahun lalu. Sebagaimana komik Siksa Neraka karya MB. Rahimsyah, rekaman tersebut sempat memancing ketakutan kolektif di hati beberapa anak.
Saya sendiri, seiring pertambahan usia meyakini bahwa rekaman itu hanya rekayasa. Tapi Sita memberi respon berbeda. Amarah atas kematian orang tua membawanya pada satu misi, yakni membuktikan kalau siksa kubur tidaklah ada, dengan cara masuk ke kuburan seorang pendosa kejam, kemudian merekam kondisi di dalamnya.
Joko bisa saja menempuh jalan mudah. Buat Sita melihat siksaan brutal di alam kubur, beri dia pelajaran atas skeptismenya terhadap agama. Tujuan berceramah terpenuhi, demikian pula kesukaan penonton atas tontonan sarat gore. Tapi "jalan mudah" berbanding terbalik dengan karakteristik yang selalu dimiliki karya-karya sang sineas, yaitu "ambisius".
Siksa Kubur merupakan film Joko paling ambisius sejak Pintu Terlarang (2009). Dua jamnya dipenuhi barter antar karakternya mengenai agama serta siksa kubur. Penonton yang mencari horor konvensional mungkin bakal dibuat kewalahan oleh obrolan demi obrolan tersebut, pula tempo penuturannya yang cenderung lambat.
Celetukan mengenai "buaya berkumis lele" di adegan pembukanya memunculkan kerinduan akan obrolan kasual kreatif nan menggelitik yang bagi saya merupakan keunggulan utama dalam penulisan Joko selama ini, namun obrolan filosofis Siksa Kubur memang efektif mewakili berbagai pertanyaan dan keresahan banyak pihak mengenai topik siksa kubur.
Salah satunya tatkala Wahyu (Slamet Rahardjo), salah satu penghuni panti jompo tempat Sita bekerja, mempertanyakan mengenai bentuk siksaan yang akan diterima. "Bagaimana dengan para masokhis yang menikmati rasa sakit?", ucapnya. Pertanyaan Wahyu sungguh menantang logika, dan berangkat dari situ, Joko turut menantang formula horor religi Indonesia.
Daripada petuah ahli agama, Siksa Kubur lebih seperti proses spiritual manusia biasa. Joko tidak menempatkan diri di atas penonton. Karena seperti kita, ia pun hanya manusia dengan segudang pertanyaan dan keresahan, yang ia tuangkan melalui medium horor psikologis ala Jacob's Ladder (1990) guna menyoroti sisi gelap individu.
Joko mengajak penontonnya mengingat betapa manusia berbeda-beda. Ketakutan kita berbeda, trauma kita pun berbeda. Setelah memahami konsep tersebut, niscaya anda takkan menganggap film ini begitu pelit menampilkan peristiwa yang ia pakai sebagai judul. Hanya saja, Joko membawa definisi yang berbeda, kreatif, sekaligus humanis bagi istilah "siksa kubur".
Bukan berarti filmnya tak menyisakan keluhan. Joko kerap tenggelam dalam ambisinya menahan diri untuk tidak menginjak pedal gas sebelum babak akhir, yang acap kali mengurangi kemampuan meneror sebuah adegan. Terutama terkait jumpscare, yang di dua pertiga awal durasi tampil kurang menggigit akibat keengganan berlebihannya untuk tidak membalut diri dengan efek suara menggelegar.
Seiring waktu, begitu Joko mulai melepaskan diri dari tali kekangnya sendiri, Siksa Kubur semakin menggila. Sebuah adegan yang mempertemukan Christine Hakim dengan mesin cuci bakal jadi salah satu momen paling ikonik dalam horor Indonesia. Tapi tidak ada yang bisa menandingi kengerian milik klimaksnya.
Diiringi musik score gubahan Aghi Narottama yang mampu mencekik lewat kebolehannya membangun atmosfer, Joko tidak sekadar mengumbar kesadisan, namun benar-benar menebar ketakutan. Rasanya "immersive" merupakan definisi yang paling pas. Daripada kebrutalan yang tengah terjadi, kamera malah lebih banyak menangkap ekspresi karakternya, selaku cara menempatkan penonton di ruang emosi yang sama.
Tentu pendekatan tersebut memerlukan akting mumpuni dari jajaran pemain. Tidak hanya Faradina Mufti lewat totalitas olah rasa miliknya dan Reza Rahadian dengan kemampuan menghidupkan trauma menusuk hati, tapi seluruh ensemble cast-nya diberi kesempatan bersinar. Tidak berlebihan menyebut Siksa Kubur sebagai salah satu film lokal yang paling berhasil memaksimalkan ensemble cast bertabur bintang.
Kembali pada pertanyaan awal, apakah Siksa Kubur bisa membuat penontonnya "percaya"? Entahlah kalau terkait siksa kubur itu sendiri. Tapi Joko Anwar jelas membuat saya percaya bahwa formula usang horor religi Indonesia masih sangat bisa dieksplorasi, dan tentunya ditingkatkan kelasnya sebagaimana berhasil ia lakukan di sini.
Wah, aku inget banget rekaman yang beredar itu dan aku sempet percaya itu asli sampe ketakutan TT-TT makasih buat review filmnya kak, aku jadi penasaran nonton deh :)
BalasHapusAku pernah coba mau nonton tapi takut karena gak berani spoiler cerita orang-orang. Tapi setelah baca tulisan kaka malah kaya penasaran sama alur cerita filmnya. Kira-kira penasaran tapi masih berani gak ya buat nonton atau cukup baca spoilerannya saja🫠😶🌫️
BalasHapusPengin nonton tapi aku ini penakut banget kalau untuk film beginian
BalasHapusFilm ini rame bgt ya. Tapi aku ngga suka genre film begini sih. Apakah akhirnya membuat orang percaya? Menurutku sih kembali ke pribadi masing². Mempercayai hal tersebut atau mempertanyakan.
BalasHapus